Sherly: Semakin Digoyang, Semakin Kokoh

SOFIFI-Setiap pemimpin, cepat atau lambat, akan tiba pada satu fase di mana ia harus belajar berjalan tanpa payung di tengah hujan tuduhan. Bukan hujan yang menyejukkan, melainkan hujan yang membawa dingin sampai ke tulang; hujan yang membuat banyak orang memilih kembali ke dalam rumah, mengunci pintu, dan menunggu keadaan reda.

Tetapi beberapa pemimpin justru memilih tetap melangkah. Mereka tahu, ada perjalanan yang hanya bisa diselesaikan dengan telapak kaki yang basah, dengan pakaian yang diliputi lembap, dan dengan pandangan yang menembus jauh ke depan meski pandangan itu digerogoti kabut keraguan.

Sherly berada di fase itu sekarang. Beberapa bulan terakhir, cuaca di sekitar dirinya tidak bersahabat. Ada suara-suara yang mendadak menjadi nyaring; suara yang tak pernah terdengar saat hari cerah, namun selalu muncul ketika langit mulai menggelap. Ada isu yang dilemparkan seperti batu kecil ke tengah kolam—tampak sepele, namun riaknya meluas. Ada tudingan yang dirangkai oleh tangan-tangan yang entah bekerja untuk apa, tetapi jelas bukan untuk membangun.

Dan ironisnya, seringkali bukan bobot tudingan itu yang berat, melainkan ritmenya yang terus-menerus—seperti tetes air yang jatuh di tempat yang sama, pelan namun berulang, mencoba membuat retak sesuatu yang kokoh.

Namun jika kita mengamati dari kejauhan, muncul satu ironi yang indah: setiap kali ia diguncang, sesuatu dalam dirinya tidak runtuh; justru semakin mengeras.

Kekuatan seorang pemimpin tidak selalu tampak dari cara ia bicara. Seringkali, kekuatan itu justru tampak pada cara ia memilih untuk tidak berbicara. Ada diam yang melarikan diri dari masalah. Ada diam yang takut pada kebenaran.

Namun ada pula diam yang penuh kesadaran, diam yang memilih berdiri teguh di tengah badai, bukan karena pasrah, melainkan karena tahu bahwa badai tidak selamanya layak dilawan; sebagian cukup dilewati.

Diam seperti inilah yang menjadi pijakan Sherly. Ia tidak terjebak dalam ritme permainan lawan. Ia tidak ikut menari dalam tarian yang diciptakan oleh mereka yang ingin melihatnya kehilangan keseimbangan. Ia hanya menatap pada satu hal yang sejak awal menjadi kompasnya: amanat publik yang dititipkan kepadanya.

Dan begitulah seorang pemimpin diuji—bukan melalui tepuk tangan, tetapi melalui riuh yang mencoba menenggelamkan. Dalam setiap perjalanan besar, selalu ada saat di mana seseorang harus memeriksa ulang akar-akar yang menancap dalam dirinya. Apakah akarnya dangkal, yang hanya menancap beberapa jengkal di tanah lembut? Atau akarnya telah masuk jauh ke tanah keras, menembus batu-batu, menemukan air di tempat yang tidak disangka-sangka?

Guncangan tidak pernah mencabut akar yang dalam. Justru ia memperlihatkan kedalaman akar itu.

Di tengah segala isu, Sherly justru menunjukkan satu hal yang tak bisa dipalsukan oleh retorika politik: ketenangan yang datang dari seseorang yang tahu dirinya sedang bekerja untuk hal yang lebih besar dari sekadar nama baik pribadi.

Ketenangan itu seperti lampu kecil di beranda rumah tua—tidak terang benderang, tetapi cukup untuk membuat siapa saja yang melihat mengerti bahwa rumah itu ditempati oleh seseorang yang tidak lari dari gelap.

Waktu akan membuktikan dua hal.
Pertama, bahwa riuh kritik tidak pernah lebih kuat dari rekam jejak. Dan kedua, bahwa karakter seseorang akan selalu lebih jujur daripada narasi yang dibentuk oleh pihak-pihak yang ingin melihatnya goyah.

Mereka boleh menggoyang. Mereka boleh memelintir. Mereka boleh berusaha mengikis.

Tetapi ada pribadi-pribadi yang justru menguat oleh tekanan, seperti besi yang ditempa panas, seperti kaca yang kembali bening setelah dilap hujan, seperti laut yang tak pernah kehilangan suaranya meski dihempas ombak ribuan kali. Sherly tampaknya adalah salah satunya.

Di matanya, badai bukan ancaman. Badai adalah cermin—yang memantulkan siapa yang berdiri, siapa yang tumbang, dan siapa yang tetap melangkah meski langkah itu kadang terasa berat.

Dan ketika badai reda nanti, publik tidak akan mengingat siapa yang memulai isu atau siapa yang membesarkan keributan. Publik hanya akan melihat siapa yang tetap tegak ketika semuanya mencoba membuatnya roboh.

Karena pada akhirnya, seorang pemimpin tidak dinilai dari seberapa sering ia dipuji, tetapi dari seberapa teguh ia berdiri saat dunia mulai meragukan.

Sherly sedang digoyang. Itu nyata. Namun, semakin hari semakin jelas: ia tidak runtuh — ia sedang dimatangkan. Semakin digoyang, justru semakin kokoh. (Nji)